Komunikasi adalah istilah yang
begitu populer dewasa ini. Media massa, buku, kelompok diskusi, pelatihan, loka
karya, seminar, dan sebagainya membahas komunikasi. Manusia modern diberondong
oleh pesan-pesan komunikasi dari berbagai jurusan, baik secara terang-terangan,
atau pun secara halus, baik secara verbal atau pun non verbal (Mulyana, 2005:
7). Ketika orang-orang dari budaya-budaya yang berlainan berkomunikasi,
penafsiran keliru atas sandi-sandi merupakan pengalaman yang lazim. Setiap kali
komunikasi antar budaya terjadi, perbedaan dalam kerangka rujukan (frame of
reference) peserta komunikasi membuat komunikasi lebih rumit dan lebih sulit
dilakukan, terutama karena peserta komunikasi mungkin tidak menyadari semua
aspek budaya peserta komunikasi lainnya. Karena komunikasi antar budaya
merupakan komunikasi yang terjadi antara orang-orang yang berbeda budaya, baik
dalam arti ras, etnik, atau perbedaan-perbedaan sosio-ekonomi (Tubbs &
Moss, 2001: 236-237).
Dalam komunikasi antar budaya, pesan dapat disampaikan secara verbal maupun non verbal. Pesan verbal merupakan semua jenis komunikasi lisan yang menggunakan satu kata atau lebih. Hampir semua rangsangan wicara (communicative stimuli) yang kita sadari, masuk ke dalam kategori pesan verbal disengaja; yaitu usaha-usaha yang dilakukan secara sadar untuk berhubungan dengan orang lain secara lisan. Sedangkan pesan non verbal tidak dapat diterangkan semudah menerangkan pesan verbal, boleh jadi karena kategorinya amat luas. Pesan ini meliputi seluruh aspek non verbal dalam perilaku kita, seperti: ekspresi wajah, sikap tubuh, nada suara, gerakan tangan, cara berpakaian, dan sebagainya. Secara singkat, pesan-pesan non verbal meliputi semua pesan yang disampaikan tanpa kata-kata atau selain dari kata-kata yang kita pergunakan (Tubbs & Moss, 2001: 8-9).
Bahasa tubuh adalah perwujudan dari komunikasi antar budaya yang bersifat non verbal. Bahasa tubuh antara lain terdiri dari: ekspresi muka, pandangan mata, gerakan isyarat, sentuhan, dan sikap badan (Muhammad, 1995: 141). Selama berabad-abad, penulis-penulis besar, seperti Shakespeare, telah mengetahui bahwa sikap dan gerakan tubuh mencerminkan suasana hati. Pada cerita "Malam Kedua-belas", Malviolo, pelayan Olivia, membuat dirinya konyol dengan mengenakan ikat kaos kaki kuning dan bertingkah laku aneh. Tetapi tidak ada penelitian yang teratur tentang bahasa tubuh sampai tahun 1960-an. Lalu seorang ahli psikologi Amerika, Paul Elkman, meneliti bagaimana kemampuan kita membaca pesan-pesan tanpa kata dari wajah-wajah orang. Seorang ahli psikologi Inggris, Michael Argyle, dari Universitas Oxford, mempelajari bahasa tubuh jenis lain yaitu gerak isyarat tubuh, sejauhmana kita menjadi akrab dengan seseorang jika kita menyentuh seseorang dan dimana kita melakukannya. Argyle dan Elkman, keduanya menekankan bahwa bahasa tubuh adalah sungguh-sungguh sebuah bahasa. Anda tidak dapat melihat suatu gerakan tubuh secara tersendiri. Anda harus mempelajari pola yang utuh tentang gerakan tubuh, sikap tubuh, dan nada dari suara untuk dapat mengerti situasi secara menyeluruh. Sebagian dari seni membaca bahasa tubuh adalah menempatkan semua tanda di dalam "kelompok", jadi seperti menyusun kata-kata menjadi kalimat yang dapat dimengerti (Cohen, 1994: 9).
Ekspresi muka dapat menjadi sumber informasi yang menggambarkan keadaan emosional seseorang, seperti: perasaan takut, marah, jijik, muak, sedih, gembira, dan minat. Ada peribahasa yang mengatakan bahwa perasaan kita tertulis semuanya pada muka. Atau dengan kata lain, orang akan mengetahui perasaan kita dengan melihat ekspresi muka kita.
Mata juga merupakan elemen muka yang memberikan pengaruh yang kuat dalam komunikasi antar budaya. Dari pandangan mata, dapat diketahui bagaimana sikap seseorang, apakah ia siap untuk berinteraksi, apakah ia berminat, apakah ia memperhatikan pesan yang disampaikan atau tidak. Pada umumnya, tatapan mata juga memperlihatkan ketertarikan, tetapi ini pun berbeda antar masing-masing budaya dan suku bangsa. Varian yang paling umum adalah memandang ke bawah saat berbicara dengan orang lain yang dianggap lebih tinggi derajatnya (Boeree, 2006: 65).
Gerakan isyarat (gestur) juga mempunyai peranan yang penting dalam komunikasi antar budaya. Yang dimaksud dengan gerakan isyarat adalah gerakan badan, kepala, tangan, dan kaki yang dimaksudkan untuk menyampaikan pesan tertentu. Misalnya, bila seseorang bertanya, jawabannya dapat dengan menggunakan gelengan kepala sebagai pengganti kata "tidak". Begitu juga kita dapat menggunakan gerakan bahu bila menjawab sesuatu yang masih meragukan atau tidak tahu, atau membuat ibu jari dan telunjuk berupa lingkaran untuk menyatakan "OK" bagi orang Amerika, dan sebagainya.
Sentuhan juga mempunyai aspek yang kritis dalam komunikasi antar budaya. Sentuhan memainkan peranan yang penting dalam memberikan dorongan, pernyataan kehalusan budi, sokongan emosional, dan bahkan lebih mempunyai kekuasaan dari pada kata-kata. Misalnya, bila seorang teman baru saja menerima berita buruk, suatu tepukan di bahu teman tersebut dapat lebih menyenangkan hatinya dari pada kata-kata yang diucapkan sebagai tanda memahami keadaannya.
Sikap tubuh juga merupakan salah satu tanda non verbal dalam komunikasi antar budaya. Misalnya dua orang yang mempunyai status berbeda. Orang yang mempunyai status yang lebih rendah, umumnya lebih kaku, kelihatan agak tegang dibandingkan dengan orang yang statusnya lebih tinggi, yang kelihatannya lebih rileks.
Benarkah bahasa tubuh di atas memiliki makna yang sama antar budaya yang berbeda ?. Tentu jawabannya tidak. Justru disinilah letak kesulitannya dalam memaknai bahasa tubuh lawan komunikasi kita ketika terjadi komunikasi antar budaya. Petunjuk-petunjuk non verbal lebih rumit jika dibandingkan dengan petunjuk-petunjuk yang bersifat verbal. Beberapa budaya memperlakukan faktor-faktor non verbal seperti penggunaan waktu dan ruang secara berbeda. Seperti kita ketahui, kita bergantung pada isyarat-isyarat non verbal untuk memperoleh informasi mengenai makna pesan verbal. Karena kita sering menafsirkan isyarat-isyarat non verbal secara tidak sadar, pesan yang diterima sering berbeda dengan yang dimaksudkan oleh pembicara. Misalnya, banyak orang Amerika di luar negeri merasa malu ketika mereka menemukan bahwa isyarat dua-jari yang mereka maksud "beri saya dua" bermakna jorok di banyak negara lain. Mereka juga keliru dengan selalu mengartikan anggukan kepala sebagai "ya". Di beberapa negara, suatu anggukan kepala berarti "tidak"; di sebagian negara lainnya, anggukan kepala sekedar menunjukkan bahwa orang mengerti pertanyaan yang diajukan. Di Amerika, isyarat untuk "oke" (bagus) adalah suatu lingkaran yang dibentuk oleh ibu jari dan telunjuk dengan ketiga jari lainnya berdiri. Namun, di Paris isyarat ini berarti "kamu tidak berharga", dan di Yunani itu berarti ajakan seksual yang tidak sopan (Tubbs & Moss, 2001: 245-246). Coba perhatikan gambar di bawah ini.
Dalam komunikasi antar budaya, pesan dapat disampaikan secara verbal maupun non verbal. Pesan verbal merupakan semua jenis komunikasi lisan yang menggunakan satu kata atau lebih. Hampir semua rangsangan wicara (communicative stimuli) yang kita sadari, masuk ke dalam kategori pesan verbal disengaja; yaitu usaha-usaha yang dilakukan secara sadar untuk berhubungan dengan orang lain secara lisan. Sedangkan pesan non verbal tidak dapat diterangkan semudah menerangkan pesan verbal, boleh jadi karena kategorinya amat luas. Pesan ini meliputi seluruh aspek non verbal dalam perilaku kita, seperti: ekspresi wajah, sikap tubuh, nada suara, gerakan tangan, cara berpakaian, dan sebagainya. Secara singkat, pesan-pesan non verbal meliputi semua pesan yang disampaikan tanpa kata-kata atau selain dari kata-kata yang kita pergunakan (Tubbs & Moss, 2001: 8-9).
Bahasa tubuh adalah perwujudan dari komunikasi antar budaya yang bersifat non verbal. Bahasa tubuh antara lain terdiri dari: ekspresi muka, pandangan mata, gerakan isyarat, sentuhan, dan sikap badan (Muhammad, 1995: 141). Selama berabad-abad, penulis-penulis besar, seperti Shakespeare, telah mengetahui bahwa sikap dan gerakan tubuh mencerminkan suasana hati. Pada cerita "Malam Kedua-belas", Malviolo, pelayan Olivia, membuat dirinya konyol dengan mengenakan ikat kaos kaki kuning dan bertingkah laku aneh. Tetapi tidak ada penelitian yang teratur tentang bahasa tubuh sampai tahun 1960-an. Lalu seorang ahli psikologi Amerika, Paul Elkman, meneliti bagaimana kemampuan kita membaca pesan-pesan tanpa kata dari wajah-wajah orang. Seorang ahli psikologi Inggris, Michael Argyle, dari Universitas Oxford, mempelajari bahasa tubuh jenis lain yaitu gerak isyarat tubuh, sejauhmana kita menjadi akrab dengan seseorang jika kita menyentuh seseorang dan dimana kita melakukannya. Argyle dan Elkman, keduanya menekankan bahwa bahasa tubuh adalah sungguh-sungguh sebuah bahasa. Anda tidak dapat melihat suatu gerakan tubuh secara tersendiri. Anda harus mempelajari pola yang utuh tentang gerakan tubuh, sikap tubuh, dan nada dari suara untuk dapat mengerti situasi secara menyeluruh. Sebagian dari seni membaca bahasa tubuh adalah menempatkan semua tanda di dalam "kelompok", jadi seperti menyusun kata-kata menjadi kalimat yang dapat dimengerti (Cohen, 1994: 9).
Ekspresi muka dapat menjadi sumber informasi yang menggambarkan keadaan emosional seseorang, seperti: perasaan takut, marah, jijik, muak, sedih, gembira, dan minat. Ada peribahasa yang mengatakan bahwa perasaan kita tertulis semuanya pada muka. Atau dengan kata lain, orang akan mengetahui perasaan kita dengan melihat ekspresi muka kita.
Mata juga merupakan elemen muka yang memberikan pengaruh yang kuat dalam komunikasi antar budaya. Dari pandangan mata, dapat diketahui bagaimana sikap seseorang, apakah ia siap untuk berinteraksi, apakah ia berminat, apakah ia memperhatikan pesan yang disampaikan atau tidak. Pada umumnya, tatapan mata juga memperlihatkan ketertarikan, tetapi ini pun berbeda antar masing-masing budaya dan suku bangsa. Varian yang paling umum adalah memandang ke bawah saat berbicara dengan orang lain yang dianggap lebih tinggi derajatnya (Boeree, 2006: 65).
Gerakan isyarat (gestur) juga mempunyai peranan yang penting dalam komunikasi antar budaya. Yang dimaksud dengan gerakan isyarat adalah gerakan badan, kepala, tangan, dan kaki yang dimaksudkan untuk menyampaikan pesan tertentu. Misalnya, bila seseorang bertanya, jawabannya dapat dengan menggunakan gelengan kepala sebagai pengganti kata "tidak". Begitu juga kita dapat menggunakan gerakan bahu bila menjawab sesuatu yang masih meragukan atau tidak tahu, atau membuat ibu jari dan telunjuk berupa lingkaran untuk menyatakan "OK" bagi orang Amerika, dan sebagainya.
Sentuhan juga mempunyai aspek yang kritis dalam komunikasi antar budaya. Sentuhan memainkan peranan yang penting dalam memberikan dorongan, pernyataan kehalusan budi, sokongan emosional, dan bahkan lebih mempunyai kekuasaan dari pada kata-kata. Misalnya, bila seorang teman baru saja menerima berita buruk, suatu tepukan di bahu teman tersebut dapat lebih menyenangkan hatinya dari pada kata-kata yang diucapkan sebagai tanda memahami keadaannya.
Sikap tubuh juga merupakan salah satu tanda non verbal dalam komunikasi antar budaya. Misalnya dua orang yang mempunyai status berbeda. Orang yang mempunyai status yang lebih rendah, umumnya lebih kaku, kelihatan agak tegang dibandingkan dengan orang yang statusnya lebih tinggi, yang kelihatannya lebih rileks.
Benarkah bahasa tubuh di atas memiliki makna yang sama antar budaya yang berbeda ?. Tentu jawabannya tidak. Justru disinilah letak kesulitannya dalam memaknai bahasa tubuh lawan komunikasi kita ketika terjadi komunikasi antar budaya. Petunjuk-petunjuk non verbal lebih rumit jika dibandingkan dengan petunjuk-petunjuk yang bersifat verbal. Beberapa budaya memperlakukan faktor-faktor non verbal seperti penggunaan waktu dan ruang secara berbeda. Seperti kita ketahui, kita bergantung pada isyarat-isyarat non verbal untuk memperoleh informasi mengenai makna pesan verbal. Karena kita sering menafsirkan isyarat-isyarat non verbal secara tidak sadar, pesan yang diterima sering berbeda dengan yang dimaksudkan oleh pembicara. Misalnya, banyak orang Amerika di luar negeri merasa malu ketika mereka menemukan bahwa isyarat dua-jari yang mereka maksud "beri saya dua" bermakna jorok di banyak negara lain. Mereka juga keliru dengan selalu mengartikan anggukan kepala sebagai "ya". Di beberapa negara, suatu anggukan kepala berarti "tidak"; di sebagian negara lainnya, anggukan kepala sekedar menunjukkan bahwa orang mengerti pertanyaan yang diajukan. Di Amerika, isyarat untuk "oke" (bagus) adalah suatu lingkaran yang dibentuk oleh ibu jari dan telunjuk dengan ketiga jari lainnya berdiri. Namun, di Paris isyarat ini berarti "kamu tidak berharga", dan di Yunani itu berarti ajakan seksual yang tidak sopan (Tubbs & Moss, 2001: 245-246). Coba perhatikan gambar di bawah ini.
Gambar di atas menunjukkan bahwa Sally dan Mark sedang berkencan untuk pertama
kalinya. Mereka sedang duduk di meja sebuah bar. Sally sangat menyukai Mark,
tetapi ia tak ingin menunjukkannya secara mencolok. Mark juga menyukai Sally,
tetapi ia paling tidak suka jika harus menghadapi sikap dingin dari seorang wanita.
Karena ia akan merasa gugup. Tangan kanan Mark mempermainkan gelas. Dan tangan
kirinya berada di atas lututnya sambil menepuk-nepuk. Jika ia tersenyum kepada
Sally, seringkali senyumannya kaku dan seperti berhenti dengan mendadak. Mark
sebenarnya ingin menghentikan kegelisahannya dan menyentuh tangan Sally. Suatu
saat ia menggeser tangannya lebih dekat ke Sally. Tangan Sally tetap berada di
tempatnya dan sedikit terlalu jauh bagi Mark untuk dapat menyentuhnya dengan
mudah. Keduanya merasakan bahwa ada sesuatu yang tidak beres, tetapi mereka
tidak mengetahui apa-nya yang tidak beres. Kalau saja Sally bisa melihat ke
bawah meja, ia akan dapat melihat tanda-tanda kegugupan lainnya. Mata kaki Mark
terangkat dan disilangkan satu sama lain. Jika Sally dapat membaca bahasa
tubuh, ia akan mengetahui tiga hal: pertama, Mark sungguh menyukainya. Kedua,
Mark gugup, karena ia tidak mengetahui bagaimana perasaan Sally. Dan ketiga,
Mark kurang percaya diri dan terperangkap dalam situasi harus memilih mendekat
atau menjauh, menjauh atau mendekat ? (Cohen, 1994: 1-2).
Sekelumit cerita di atas menggambarkan bahwa betapa sulitnya menafsirkan bahasa tubuh lawan komunikasi kita. Tidak seorang pun yang pernah mengajari kita bagaimana caranya menafsirkan bahasa tubuh seseorang. Selama ini kita hanya belajar dan tahu dengan sendirinya dari pengalaman. Dan seringkali kita hanya melihat sebagian dari yang sebenarnya dapat kita lihat, tentang bagaimana perasaan orang-orang di sekitar kita, dan tentu saja juga tentang perasaan kita sendiri. Komunikasi yang terjadi antara Mark dan Sally di atas, mungkin terjadi antara dua orang yang memiliki budaya yang sama. Itu pun mereka masih mengalami kesulitan dalam menafsirkan bahasa tubuh lawan komunikasi mereka masing-masing. Bagaimana halnya jika seseorang yang berasal dari budaya yang berbeda harus menafsirkan bahasa tubuh lawan komunikasinya masing-masing ?. Tentu akan lebih sulit menafsirkannya.
Setiap budaya memiliki bahasa tubuhnya. Anak-anak menyerap nuansa-nuansanya bersama-sama bahasa ucap. Seorang Prancis berbicara dan bergerak dengan cara Prancis. Seorang Amerika menggerakkan tubuhnya dengan cara yang khas Amerika. Namun beberapa perbedaan budaya mudah dikenali. Kebanyakan orang Amerika, ketika mengamati seorang lelaki Inggris, akan mengetahui bahwa cara orang Inggris menyilangkan kaki berbeda dengan cara lelaki Amerika dalam melakukan hal itu. Namun, hanya seorang ahlilah yang mengetahui seorang yang asli dari Wisconsin dengan memperhatikan cara ia menggerakkan alis matanya selama percakapan (Davis, 2006: 105-106). Oleh karena itu, untuk mensiasati agar kita bisa lebih memberi makna dari bahasa tubuh orang-orang yang memiliki budaya yang berbeda dengan kita, tidak ada jalan lain kecuali kita harus berusaha belajar untuk memahami makna dari bahasa tubuh yang berlaku pada budaya lawan komunikasi kita.
Sekelumit cerita di atas menggambarkan bahwa betapa sulitnya menafsirkan bahasa tubuh lawan komunikasi kita. Tidak seorang pun yang pernah mengajari kita bagaimana caranya menafsirkan bahasa tubuh seseorang. Selama ini kita hanya belajar dan tahu dengan sendirinya dari pengalaman. Dan seringkali kita hanya melihat sebagian dari yang sebenarnya dapat kita lihat, tentang bagaimana perasaan orang-orang di sekitar kita, dan tentu saja juga tentang perasaan kita sendiri. Komunikasi yang terjadi antara Mark dan Sally di atas, mungkin terjadi antara dua orang yang memiliki budaya yang sama. Itu pun mereka masih mengalami kesulitan dalam menafsirkan bahasa tubuh lawan komunikasi mereka masing-masing. Bagaimana halnya jika seseorang yang berasal dari budaya yang berbeda harus menafsirkan bahasa tubuh lawan komunikasinya masing-masing ?. Tentu akan lebih sulit menafsirkannya.
Setiap budaya memiliki bahasa tubuhnya. Anak-anak menyerap nuansa-nuansanya bersama-sama bahasa ucap. Seorang Prancis berbicara dan bergerak dengan cara Prancis. Seorang Amerika menggerakkan tubuhnya dengan cara yang khas Amerika. Namun beberapa perbedaan budaya mudah dikenali. Kebanyakan orang Amerika, ketika mengamati seorang lelaki Inggris, akan mengetahui bahwa cara orang Inggris menyilangkan kaki berbeda dengan cara lelaki Amerika dalam melakukan hal itu. Namun, hanya seorang ahlilah yang mengetahui seorang yang asli dari Wisconsin dengan memperhatikan cara ia menggerakkan alis matanya selama percakapan (Davis, 2006: 105-106). Oleh karena itu, untuk mensiasati agar kita bisa lebih memberi makna dari bahasa tubuh orang-orang yang memiliki budaya yang berbeda dengan kita, tidak ada jalan lain kecuali kita harus berusaha belajar untuk memahami makna dari bahasa tubuh yang berlaku pada budaya lawan komunikasi kita.
PERILAKU
VERBAL DAN NON VERBAL PADA KOMUNIKASI LINTAS BUDAYA
Dalam kebanyakan peristiwa
komunikasi yang berlangsung, hampir selalu melibatkan penggunaan
lambang-lambang verbal dan non verbal secara bersama-sama. keduanya , bahasa
verbal dan non verbal, memiliki sifat yang holistic( masing-masing tidak dapat
dipisahkan). Dalam banyak tindakan komunikasi , bahasa non verbal menjadi
komplemen atau pelengkap bahasa verbal. Lambang-lambang non verbal juga dapat
berfungsi kontradiktif, pengulangan, bahkan pengganti ungkapan-ungkapan verbal,
misalnya ketika seseorang mengatakan terima kasih( bahasa verbal) maka orang
tersebut akan melengkapinya dengan tersenyum( bahasa non verbal), seseorang
setuju dengan pesan yang disampaikan orang lain dengan anggukan kepala ( bahasa
non verbal). Dua komunikasi tersebut merupakan contoh bahwa bahasa verbal dan
non verbal bekerja bersama-sama dalam menciptakan makna suatu perilaku
komunikasi.
A. PERILAKU VERBAL DALAM KOMUNIKASI
LINTAS BUDAYA
Perilaku verbal sebenarnya adalah
komunikasi verbal yang biasa kita lakukan sehari-hari. Simbol atau pesan verbal
adalah semua jenis symbol yang menggunakan kata-kata atau lebih. Hampir semua
rangsangan wicara yang kita sadari termasuk ke dalam kategori pesan disengaja,
yaitu usaha-usaha yang dilakukan secara sadar untuk berhubungan dengan orang
lain secara lisan.
Suatu system kode verbal disebut bahasa.
Bahasa dapat didefinisikan sebagai perangkat simbol, dengan aturan untuk
mengkombinasikan simbol-simbol tersebut, yang digunakan dan dipahami suatu
komunitas .
Bahasa verbal adalah sarana utama
untuk menyatakan fikiran, perasaan dan maksud kita. Bahasa verbal menggunakan
kata-kata yang mempresentatifkan berbagai aspek realitas individu kita. Dengan
kata lain, kata-kata adalah abstraksi realitas kita yang tidak mampu
menimbulkan reaksi yang merupakan totalitas objek atau konsep yang mewakili
kata-kata itu. Misalnya kata rumah, kursi atau mobil. Realitas apa yang
mewakili setiap kata itu?. Begitu banyak ragam rumah, ada rumah bertingkat,
rumah mewah, rumah sederhana, rumah hewan, rumah tembok, rumah bilik, dan yang
lainnya. Begitu juga kursi, ada kursi jok, kursi kerja, kursi plastik, kursi
malas, dan sebagainya. Kata mobil-pun ternyata tidak sederhana, ada sedan,
truk, minibus, ada mobil pribadi, mobil angkutan dan sebagainya.
Bila kita menyertakan budaya sebagai
variable dalam proses komunikasi tersebut, maka masalahnya akan semakin rumit.
Ketika kita berkomunikasi dengan seseorang dari budaya kita sendiri, proses
komunikasi akan jauh lebih mudah, karena dalam suatu budaya orang-orang berbagi
sejumlah pengalaman serupa. Namun bila komunikasi melibatkan orang-orang
berbeda budaya, banyak pengalaman berbeda dan akhirnya proses komunikasi juga
menyulitkan.
Fungsi
bahasa dalam kehidupan manusia.
Kita
sering tidak menyadari pentingnya bahasa, karena kita sepanajang hidup
menggunakannya. Kita baru sadar bahasa itu penting ketika kita menemui jalan
buntu dalam menggunakan bahasa, misalnya ketika kita berupaya berkomunikasi
dengan orang yang sama sekali tidak memahami bahasa kita yang membuat frustasi
; ketika kita sulit menerjamahkan suatu kata, frase atau kalimat dari suatu
bahasa ke bahasa lain; ketika kita harus menulis lamaran atau diwawancarai
dalam bahasa inggris untuk memperoleh pekerjaan yang bagus.
Fungsi
bahasa yang mendasar adalah untuk menamai atau menjuluki orang ,objek dan
peristiwa. Setiap orang mempunyai nama untuk identifikasi sosial. Orang juga
dapat menamai apa saja, objek-objek yang berlainan,termasuk perasaan tertentu
yang mereka alami. Penanaman adalah dimensi pertama bahasa dan basis bahasa
pada awalnya dilakukan manusia sesuaka mereka yang lalu menjadi konvensi(Aubrey
Fisher dan Catherine Adam,1994). Suatu objek mempunyai beberapa tingkat
abstraksi .ibu kita adalah ibu,ibu adalah wanita, wanita adalah manusia
,manusia adalah makhluk hidup dan makhluk hidup adalah ciptaan Tuhan . semakin
luas kelasnya, semakin abstrak konsep tersebut.sepanjang hidup kita sebenarnya
belajar mengabstraksikan segala sesuatu.
Menurut
Larry L. Barker dalam Mulyana (2007), bahasa memiliki 3 fungsi ;penanaman(naming
atau labeling), interaksi, dan transmisi informasi. Penanaman atau
penjulukan merujuk pada usaha mengidentifikasi objek , tindakan, atau orang
dengan menyebut namanya,sehingga dapat dirujuk dalam komunikasi . Fungsi
interaksi menurut barker, menekankan berbagai gagasan dan emosi yang dapat
mengundang simpati dan pengertaian atau kemarahan dan kebingungan. Melalui
bahasa, informasi dapat disampaikan kepada orang lain. Anda juga menerima
informasi setiap hari, sejak bangun tidur hingga anda bangun kembali, dari
orang lain, baik secara langsung maupun tidak ( melalui media massa, misalnya).
Fungsi bahasa inilah yang disebut fungsi transmisi. Barker berpandangan , keistimewaan
bahasa sebagai transmisi informasi yang lintas waktu, dengan menghubungkan masa
lalu, masa kini dan masa yang akan dating, memungkinkan kesinambungan budaya
dan tradisi kita. Tanpa bahasa kita tidak mungkin bertukar informasi; kita
tidak mungkin menghadirkan semua objek dan tempat untuk kita rujuk dalam
komunikasi kita.
Menurut
Mulyana( 2007),menambahkan agar komunikasi kita berhasil, bahasa harus memenuhi
tiga fungsi yaitu: untuk mengenal dunia disekitar kita; berhubungan dengan
orang lain; dan untuk menciptakan koherensi dalam hidup kita. Melalui fungsi
pertama kita dapat mempelajari apa saja yang menarik minat kita, mulai dari
sejarah yang hidup pada masa lalu seperti Mesir Kuno. Kita juga dapat berbagi
pengalaman masa lalu dan masa kini yang kita alami, dan juga pengetahuan yang
kita dapatkan dari berbagai media. Fungsi bahasa kedua adalah sebagai sarana
untuk berhubungan dengan orang lain. Fungsi ini berkaitan dengan fungsi
komunikasi khususnya fungsi sosial dan fungsi instrumental. Bahasa memungkinkan
kita bergaul dengan orang lain untuk kesenangan kita dan untuk mempengaruhi
mereka untuk mencapai tujuan. Melaui bahasa kita dapat mengandalikan lingkungan
kita, termasuk orang-orang disekitar kita. Kemampuan orang lain dengan orang
lain tidak hanya tergantung pada bahasa yang sama, namun juga pengalaman yang
sama dan makna yang sam dalam kata-kata yang kita sampaikan. Sedangkan fungsi
ketiga memungkinkan kita untuk hidup lebih teratur, saling memahami diantara
kita, baik kepercayaan maupun tujuan-tujuan kita. Kita tidak mungkin
menjelaskan semua itu dengan menyusun kata-kata secara acak melainkan
berdasarkan aturan-aturan tertentu yang telah kita sepakati bersama. Akan
tetapi kita sebenarnya tidak selamanya dapat memenuhi ketiga fungsi tersebut,
karena meskipun bahasa merupakan sarana komunikasi dengan manusia lain, sarana
ini secara inheren mengandung kendala karena keterbatasan sifatnya. Seperti
dikatakan S.I Hayakawa;” kata itu bukan objek”. Bila orang-orang memaknai suatu
kata secara berbeda, maka akan timbul kesalahpahaman diantara mereka.
Setiap
diskusi tentang bahasa dalam peristiwa-peristiwa antar budaya harus mengikut
sertakan pembahasaan atas isu-isu bahasa yang umum sebelum membahas
masalah-masalah khusus tentang bahas asing, penerjemahan bahasa dan dialek
serta logat sub kultur dan sub kelompok. Untuk itu bila kita membicarakan
berbagai dimensi budaya kitra juga akan membicarakan bahasa verbal dan
relevansinya dengan pemahaman kita tentang budaya. ( Mulyana & Rakhmat,
2005)
Secara
sederhana bahasa dapat diartikan sebagai suatu sistem lambing terorganisasikan,
disepakati secara umum dan merupakan hasil belajar yang digunakan untuk
menyajikan pengalaman –pengalaman dalam suatu komunitas geografis dan budaya.
Bahasa
merupakan alat utama yang digunakan budaya untuk menyalurkan kepercayaan, nilai
dan norma. Bahasa merupakan alat bagi orang-orang untuk berinteraksi dengan
orang-orang lain dan juga sebagai alat untuk alat berpikir. Maka bahasa
berfungsi sebagai suatu mekanisme untuk berkomunikasi dan sekligus sebagai
pedoman untuk melihat realitas sosial. Bahasa mempengaruhi persepsi ,
menyalurkan dan turut membentuk pikiran. Kemempuan menyampaikan pesan verbal
antar budaya.
Menurut
Ohoiwutun (1997)dalam Liliweri (2003), dalam berkomunikasi antar budaya ada
beberapa hal yang harus diperhatikan yaitu;1) kapan orang berbicara; 2)apa yang
dikatakan; 3)hal memperhatikan; 4) intonasi; 5) gaya kaku dan puitis serta
6)bahasa tidak langsung. Ke enam hal tersebut adalah saat yang tepat bagi
seseorang untuk menyampaikan pesan verbal dalam komunikasi antar budaya.
1) Kapan Orang Berbicara
Jika kita
berkomunikasi antar budaya perlu diperhatikan ada kebiasaan (habits)
budaya yang mengajarkan kepatutan kapan seorang harus atau boleh berbicara.
Orang Timor, Batak, Sulawesi, Ambon, Irian, mewarisi sikap kapan saja bisa
berbicara, tanpa membedakan tua dan muda, artinya berbicara semaunya saja,
berbicara tidak mengenal batas usia. Namun orang Jawa dan Sunda mengenbal
aturan atau kebiasaan kapan orang berbicara, misalnya yang lebih muda
mendengarkan lebih banyak daripada yang tua, yang tua lebih bayak berbicara
dari yang muda. Perbedaan norma berbahasa ini dapat mengakibatkan konflik
antarbudaya hanya karena salah memberikan makna kapan orang harus berbicara.
2) Apa yang DIkatakan
Laporan
penelitian Tannen (1984-an) menunjukan bahwa orang-orang New York keturunan
Yahudi lebih cenderung berceritera dibanding dengan teman-temannya di
California. Ceritera mereka(New York Yahudi) selalu terkait dengan pengalaman
dan perasaan pribadi .Masing-masing anggota kelompok kurang tertarik pada isi
ceritera yang di-kemukakan anggota kelompok lainnya .
3) Hal Memperhatikan
Konsep ini
berkaitan erat dengan gaze atau pandangan mata yang diperkenankan waktu
berbicara bersama-sama .Orang-orang kulit hitam biasanya berbicara sambil
menatap mata dan wajah orang lain, hal yang sama terjadi bagi orang Batak dan
Timor. Dalam berkomunikasi ‘memperhatikan’ adalah melihat bukan sekedar
mendengarkan. Sebaliknya oran Jawa tidak mementingkan ‘melihat’ tetapi
mendengarkan. Anda membayangkqan jika seorang Jawa sedang berbicara dengan
orang Timor yang terus menerus menatap mata orang Jawa ,maka si Jawa merasa
tidak enak dan bahkan menilai orang Timor itu sangat kurang ajar. Sebaliknya
orang Timor merasa dilecehkan karena si Jawa tidak melihat dia waktu memberikan
pengarahan.
4) Intonasi
Masalah
intonasi cukup berpengaruh dalam berbagai bahasa yang berbeda budaya . Orang
kadang di Lembata/Flores memakai kata bua berarti melahirkan namun kata
yang sama kalau di tekan pada huruf akhir’a’-bua’(atau buaq),berarti berlayar
;kata laha berarti marah tetapi kalau disebut tekanan di akhir ‘a’-lahaq
merupakan maki yang merujuk pada alat kelamin laki-laki.
5) Gaya Kaku atau Puitis
Ohoiwutun
(1997:105) menulis bahwa jika anda membandingkan bahasa Indonesia yang
diguratkan pada awal berdirinya Negara ini dengan gaya yang dipakai dewasa ini,
dekade 90-an maka anda akan dapati bahwa bahasa Indonesia tahun 1950-an lebih
kaku. Gaya bahasa sekarang lebih dinamis lebih banyak kata dan frase dengan
makna ganda, tergantung dari konteksnya. Perbedaan ini terjadi sebagai akibat
perkembangan bahasa. Tahun 1950-an bahasa Indonesia hanya dipengaruhi secara
dominan oleh bahasa Melayu.
Dewasa ini
puluhan bahasa daerah, teristimewa bahaqsa Jawa dengan puluhan juta penutur
aslinya, telah ikut mempengaruhi ‘ formula’ berbahasa Indonesia. Anehnya bila
berkunjung ke Yunani anda akan mengalami gaya berbahasa Yunani seperti yang
kita alami di Indonesia sekarang ini. Disebut aneh karena Yunani tidak
mengalami pengaruh berbagai bahasa dalam sejarah perkembangan bahasanya seperti
yang dialami Indonesia.
6) Bahasa Tidak Langsung
Setiap bahasa
mengajarkan kepada para penuturnya mekanisme untuk menyatakan sesuatu secara
langsung atau tidak langsung. Jika anda berhadapan dengan orang Jepang, maka
anda akan menemukan bahwa mereka sering berbahasa secara tidak langsung, baik
verbal maupun non verbal. Dalam berbisnis, umumnya surat bisnis Amerika,
menyatakan maksudnya dalam empat paragraph saja.
B. PERILAKU NON
VERBAL DALAM KOMUNIKASI LINTAS BUDAYA
Kita
mempersepsi manusia tidak hanya lewat bahasa verbalnya; bagaimana bahasanya
(halus, kasar, intelektual, mampu berbahasa asing dan sebagainya), namun juga
melalui perilaku non verbalnya. Pentingnya perilaku non verbal ini misalnya
dilukiskan dalam frase, ”bukan apa yang ia katakan tapi bagaimana ia
mengatakannya”. Lewat perilaku non verbalnya, kita dapat mengetahui suasana
emosional seseorang, apakah ia bahagia, bingung atau sedih.
Secara
sederhana, pesan non verbal adalah semua isyarat yang bukan kata-kata. Menurut
Larry A. Samovar dan Richard E. Porter (1991), komunikasi non verbal mencakup
semua rangsangan kecuali rangsangan verbal dalam suatu setting
komunikasi, yang dihasilkan oleh individu dan penggunaan lingkungan oleh
individu, yang mempunyai nilai pesan potensial bagi pengirim atau penerima;
jadi definisi ini mencakup perilaku yang disengaja juga tidak disengaja sebagai
bagian dari peristiwa komunikasi secara keseluruhan; kita mengirim banyak pesan
nonverbal tanpamenyadari bahwa pesan-pesan tersebut bermakna pada orang lain.
Dalam proses
non verbal yang relevan dengan komunikasi antar budya terdapat tiga aspek
yaitu; perilaku non verbal yang berfungsi sebagai bahasa diam, konsep waktu dan
penggunaan dan pengaturan ruang.
Sebenarnya
sangat banyak aktivitas yang merupakan perilaku non verbal ini, akan tetapi
yang berhubungan dengan komunikasi antar budaya ini biasanya adalah sentuhan.
Sentuhan sebagai bentuk komunikasi dapat menunjukkan bagaimana komunikasi non
verbal merupakan suatu produk budaya. Di Jerman kaum wanita seperti juga kaum
pria biasa berjabatan tangan dalam pergaulan sosial; di Amerika Serikat kaum
wanita jarang berjabatan tangan. Di Muangthai, orang-orang tidak bersentuhan
(berpegangan tangan dengan lawan jenis) di tempat umum, dan memegang kepala
seseorang merupakan suatu pelanggaran sosial.
Suatu contoh
lain adalah kontak mata. Di Amerika Serikat orang dianjurkan untuk mengadakan
kontak mata ketika berkomunikasi. Di Jepang kontak mata seringkali tidak
penting. Dan beberapa suku Indian Amrika mengajari anak-anak mereka bahwa
kontak mata dengan orang yang lebih tua merupakan tanda kekurangsopanan.
Seorang guru sekolah kulit putih di suatu pemukiman suku Indian tidak menyadari
hal ini dan ia mengira bahwa murid-muridnya tidak berminat bersekolah karena
murid-muridnya tersebut tidak pernah melihat kepadanya.
Sebagai suatau
komponen budaya, ekspresi non verbal mempunyai banyak persamaan dengan bahasa.
Keduanya merupakan sistem penyandian yang dipelajari dan diwariskan sebagai
bagian pengalaman budaya. Lambang-lambang non verbal dan respon-respon yang
ditimbulkan lambang-lambang tersebut merupakan bagian dari pengalaman budaya –
apa yang diwariskan dari suatu generasi ke generasi lainnya. Setiap lambang
memiliki makna karena orang mempunyai pengalaman lalu tentang lambang tersebut.
Budaya mempengaruhi dan mengarahkan pengalaman-pengalaman itu, dan oleh
karenanya budaya juga mempengaruhi dan mengarahkan kita: bagaiman kita
mengirim, menerima, dan merspon lambang-lambang non verbal tersebut.
Konsep Waktu
Konsep waktu
suatu budaya merupakan filsafatnya tentang masa lalu, masa sekarang, masa
depan, dan pentingnya atau kurang pentingnya waktu. Kebanyakan budaya Barat
memandang waktu sebagai langsung dan berhubungan dengan ruang dan tempat. Kita
terikat oleh waktu dan sadar akan adanya masa lalu, masa sekarang, dan masa
yang akan datang. Sebaliknya, sukuIndian Hopi tidak begitu memperhatikan waktu.
Mereka percaya bahwa setiap hal – apakah itu manusia, tumbuhan, atau binatang
memiliki sistem waktunya sendiri-sendiri.
Waktu merupakan
komponen budaya yang penting. Terdapat banayak perbedaan mengenai konsep ini
antara budaya yang satu dengan budaya yang lainnya dan perbedaan-perbedaan
tersebut mempengaruhi komunikasi.
Penggunaan
Ruang
Cara orang
menggunakan ruang sebagai bagian dalam komunikasi antar-personal disebut
proksemika (proxemics). Proksemika tidak hanya meliputi jarak antara
orang-orang yang terlibat dalam percakapan, tetapi juga orientasi fisik mereka.
Kita mungkin tahu bahwa orang-orang Arab dan orang-orang Amerika Latin
cenderung berinteraksi lebih dekat kepada sesamanya daripada orang-orang
Amerika Utara. Penting disadari bahwa orang-orang dari budaya yang berbeda
mempunyai cara-cara yang berbeda pula dalam menjaga jarak ketika bergaul dengan
sesamanya. Bila kita berbicara dengan orang berbeda budaya, kita harus dapat
memperkirakan pelanggaran-pelanggaran apa yang bakal terjadi, menghindari
pelanggaran-pelanggaran tersebut, dan meneruskan interaksi kita tanpa
memperlihatkan reaksi permusuhan. Kita mungkin mengalami perasaan-perasaan yang
sulit kita kontrol; kita mungkin menyangka bahwa orang lain tidak tahu adat,
agresif, atau menunjukkan nafsu seks ketika orang itu berada pada jarak yang
dekat dengan kita, padahal sebenarnya tindakannya itu merupakan perwujudan
hasil belajarnya tentang bagaimana menggunakan ruang, yang tentu saja
dipengaruhi oleh budayanya.
Kita juga
cenderung menentukan hierarki sosial dengan mengatur ruang. Duduk di belakang
meja sambil berbicara dengan seseorang yang sedang berdiri biasanya merupakan
tanda hubungan atasan-bawahan, dan orang yang duduk itulah atasannya. Perilaku
yang serupa juga dapat digunakan untuk menunjukkan ketidaksetujuan,
kekurangajaran, atau penghinaan, bila orang melanggar norma-norma budaya.
Kesalahpahaman mudah terjadi dalam peristiwa-peristiwa antarbudaya ketika dua
orang, masing-masing berperilaku sesuai dengan budayanya masing-masing, tak
memenuhi harapan pihak lainnya. Bila kita tetap duduk sedangkan kita diharapkan
berdiri, kita dikira orang melanggar norma budaya dan menghina pribumi atau
tamu, padahal kita tidak menyadari hal tersebut.
Menurut Tubbs
and Moss (1996), sistem komunikasi non verbal berbeda dari satu budaya ke
budaya lain seperti juga sistem verbal. Di beberapa negara, suatu anggukan
kepala berarti ”tidak”, di sebagian negara lainnya, anggukan kepala sekedar
menunjukkan bahwa orang mengerti pertanyaan yang diajukan. Petunjuk-petunjuk
non verbal ini akan lebih rumit lagi bila beberapa budaya memperlakukan
faktor-faktor non verbal seperti penggunaan waktu dan ruang secara berbeda.
Isyarat-isyarat
vokal seperti volume suara digunakan secara berbeda dalam budaya-budaya yang
berbeda, begitu juga dengan ekspresi emosi. Misalnya, orang Italia dan orang Inggris
lebih terbiasa mengekspresikan kesusahan dan kemarahan daripada orang Jepang,
karena bagi orang Jepang merupakan suatu kewajiban sosial untuk tampak bahagia
dan tidak membebani teman-teman mereka dengan kesusahan. Menurut Gudykunst dan
Ting Tommey (1988), dalam beberapa budaya penampilan emosi terbatas pada
emosi-emosi yang ”positif” dan tidak mengganggu harmoni kelompok.
Liliweri (2003)
mengatakan bahwa ketika berhubungan antarpribadi maka ada beberapa faktor dari
pesan non verbal yang mempengaruhi komunikasi antarbudaya. Ada beberapa bentuk
perilaku non verbal yakni: (1) kinesik; (2) okulesik, dan (3) haptiks; (4)
proksemik; dan (5) kronemik.
1. Kinesik, adalah studi yang berkaitan dengan
bahsa tubuh, yang terdiri dari posisi tubuh, orientasi tubuh, tampilan wajah,
gambarang tubuh, dll. Tampaknya ada perbedaan anatara arti dan makna dari
gerakan-gerakan tubuh atau anggota tubuh yang ditampilkan tersebut.
2. Okulesik, adalah studi tentang gerakan mata dan
posisi mata. Ada perbedaan makna yang ditampilkan alis mata diantara manusia.
Setiap variasi gerakan mata atau posisi mata menggambarkan satu makna tertentu,
seperti kasih sayng, marah, dll. Orang Amerika Utara tidak membenarkan seorang
melihat wajah mereka kalau mereka sedang berbicara. Sebaliknya, orang Kamboja
yakin bahwa setiap pertemuan didahului oleh pandangan mata pertama, namun
melihat seorang adalah sesuatu yang bersifat privacy sehingga tidak
diperkenankan memandang orang lain dengan penuh nafsu.
3. Haptik, adalah studi tentang perabaan atau memperkenankan
sejauh mana seseorang memegang dan merangkul orang lain. Banyak orang Amerika
Utara merasa tidak nyaman ketika seseorang dari kebudayaan lain memegang tangan
mereka dengan ramah, menepuk belakang dan lain-lain. Ini menunjukkan – derajat
keintiman: fungsional/profesional, sosial dan sopan santun, ramah tamah dan
baik budi, cinta dan keintiman, dan daya tarik seksual.
4. Proksemik, studi tentang hubungan antar ruang,
antar jarak, dan waktu berkomunikasi, sebagaimana dikategorikan oleh Hall pada
tahun 1973, kecenderungan manusia menunjukkan bahwa waktu orang berkomunikasi
itu harus ada jarak antarpribadi, terlalu dekat atau terlalu jauh. Makin dekat
artinya makin akrab, makin jauh arinya makin kurang akrab.
5. Kronemik, adalah studi tentang konsep waktu,
sama seperti pesan non verbal yang lain maka konsep tentang waktu yang
menganggap kalu suatu kebudayaan taat pada waktu maka kebudayaan itu tinggi
atau peradaban maju. Ukuran tentang waktu atau ketaatan pada waktukemudian
menghailkan pengertian tentang orang malas, malas bertnggungjawab, orang yang
tidak pernah patuh pada waktu.
6. Tampilan, apperance – cara
bagaimana seorang menampilakn diri telah cukup menunjukkan atau berkolerasi
sangat tinggi dengan evaluasi tentang pribadi. Termasuk di dalamnya tampilan
biologis misalnya warna kulit, warna dan pandangan mata, tekstur dan warna
rambut, serta struktur tubuh. Ada stereotip yang berlebihan terhadap perilaku seorang
dengan tampilan biologis. Model pakaian juga mempengaruhi evaluasi kita pada
orang lain. Dalam sebagian masyarakat barat, jas dan pakaian formal
merefleksikan profesionalisme, karen itu tidak terlihat dalam semua masyarakat.
7. Posture, adalah tampilan
tubuh waktu sedang berdiri dan duduk. Cara bagaimana orang itu duduk dan
berdiri dapat diinterpretasi bersama dalam konteks antarbudaya. Kalau orang
Jawa dan orang Timor (Dawan) merasa tidak bebas jika berdiri tegak di depan
yang orang yang lebih tua sehingga harus merunduk hormat, sebaliknya duduk
bersila berhadapan dengan orang yang lebih tua merupakan sikap yang sopan.
8. Pesan-pesan paralinguistik antarpribadi adalah pesan
komunikasi yang merupakan gabungan anatara perilaku verbal dan non verbal. Paralinguistik
terdiri dari satu unit suara, atau gerakan yang menampilkan maksud tertentu dengan
makna tertentu. Paralinguistik juga berperan besar dalam komunikasi
antarbudaya. Contoh, orang Amerika yang berbicara terlalu keras acapkali oleh
orang eropa dipandang terlalu agresif atau tanda tidak bersahabat. Orang
Inggris yang berbicara pelan dan hati-hati dipahami sebagai sekretif bagi
Amerika.
9. Simbolisme dan komunikasi non verbal yang pasif –
beberapa di antarnya adalah simbolisme warna dan nomor. Di Amerika Utara, AS
dan Canada, warna merah menunjukkan peringatan, daya tarik seks, berduka, merangsang.
Sedangkan warna kuning menggambarkan kesenangan dan kegembiraan. Warna biru
berarti adil, warna bisnis sehingga dipakai di perkantoran. Warna hitam
menunjukkan kematian, kesengsaraan, dosa, kegagalan dalam bisnis dan seksi.
Sebaliknya warna merah di Brazil adalah yang menunjukkan jarak penglihatan,
hitam melambangkan kecanggihan, kewenangan, agama dan formalitas.
Dilihat dari fungsinya,perilaku
nonverbal mempunyai beberapa fungsi.Paul Ekman dalam Mulyana (2007) menyebutkan
lima fungsi pesan nonverbal,seperti yang dapat dilukiskan dengan perilaku
mata,yakni sebagai :
- Emblem. Gerakan mata tertentu merupakan
symbol yang memiliki kesetaraan dengan simbol verbal.Kedipan dapat
mengatakan,”Saya tidak sungguh-sungguh.”illustrator.Pandangan ke bawah
dapat menunjukkan depresi atau kesedihan.
- Regulator. Kontak mata berarti saluran
percakapan terbuka.Memalingkan muka menandakan ketidaksediaan
berkomunikasi.Penyesuai.Kedipan mata yang cepat meningkat ketika orang berada
dalam tekanan.Itu merupakan respon tidak disadari yang merupakan upaya tubuh
untuk mengurangikecemasan.
- Affect Display. Pembesaran manik mata (pupil
dilation) menunjukkan peningkatan emosi.Isyarat wajah lainnya menunjukkan
perasaan takut ,terkejut,atau senang.
Lebih lanjut lagi Mulyana (2007)
merumuskan,dalam hubungannya dengan perilaku verbal mempunyai fungsi-fungsi
sebagai berikut.
- Perilaku nonverbal dapat mengulagi
perilaku verbal,misalnya anda menganggukan kepala ketika anda mengatakan
“ya,”atau menggelengkan kepala ketika mengatakan “tidak,” atau menunjukan arah
(dengan telunjuk) ke mana seseorang harus pergi untuk menemukan WC.
- Memperteguh, menekankan atau
melengkapi perilaku verbal.Misalnya Anda melambaikan tangan seraya mengucapkan
“Selamat Jalan,” “Sampai jumpa lagi,ya,” atau “Bye bye,”;atau anda menggunakan
gerakan tangan ,nada suara yang ninggi,atau suara yang lambat ketika Anda
berpidato hadapan khalayak.Isyarat nonverbal demikian itulah yang disebut affect
display.
- Perilaku nonverbal dapat
menggantikan perilaku verbal,jadi berdiri sendiri,misalnya Anda menggoyangkan
tangan Anda dengan telapak tangan mengarah ke depan (sebagai pengganti: kata
“Tidak”)ketila seorang pengamen mendatangi mobil tau Anda menunjukkan letak
ruang dekan dengan jari tangan tanpa mengucapkan sepatah kata pun,kepada
seorang mahasiswa baru.
- Perilaku nonverbal dapat meregulasi
perilaku verbal.Misalnya Anda sebagai mahasiswa mengenakan jaket atau
membereskan: buku-buku,atau melihat jam tangan Anda menjelang kuliah
berakhir,sehingga dosen segara menutup kuliahnya.
- Perilaku nonverbal dapat membantah
atau bertentangan dengan perilaku verbal.Misalnya,seorang suami mengatakan
“Bagus! Bagus!” ketika diminta komentar oleh istrinya mengenai gaun yang
dibelinya,seraya terus membaca surat: kabar atau menonton televisi;
Jika terdapat pertentangan antara
pesan verbal dan pesan nonverbal,kita biasanya lebih mempercayai pesan
nonverbal,yang menunjukkan pesan sebenarnya,karena pesan nonverbal lebih sulit
dikendalikan daripada pesan verbal.Kita dapat mengendalikan sedikit perilaku
nonverbal; namun kebanyakan perilaku nonverbal di luar kesadaran kita.Kita
dapat memutuskan dengan siapa dan kapan berbicara serta topik-topik apa yang
akan kita bicarakan,tetapi kita sulit mengendalikan ekspresi wajah senang,
malu, ngambek, cuek; anggukkan atau gelengan kepala; kaki yang mengetuk-ngetuk
lantai; dan sebagainya.Anda sulit menyangkal komentar seorang pendengar bahwa
Anda sangat gugup ketika Anda berpidato, karena tangan Anda terlihat gemetar
dan wajah Anda berkeringat dalam pidato Anda.
Klasifikasi
Pesan Nonverbal
Menurut Ray L. Birdwhistell, 65%
dari komunikasi tatap-muka adalah nonverbal,sementara menurut Albert Mehrabian,
93% dari semua makna sosial dalam komunikasi tatap-muka diperoleh dari
isyarat—isyarat nonverbal (Mulyana 2007).Dalam pandangan Birdwhistell,kita
sebenarnya mampu mengucapkan ribuan suara vokal,dan wajah kita dapat
menciptakan 250.000 ekspresi yang berbeda.
Perilaku nonverbal kita terima
sebagai suatu “paket” siap pakai dari lingkungan sosial kita, khususnya orangtua.Kita
tidak perna mempersoalkan mengapa kita harus memberi isyarat begini
untukmengatakan hal lain.Sebagaimana lambing verbal,asal-usul isyarat nonverbal
sulit dilacak meskipun adakalanya kita memperoleh informasi terbatas mengenai
hal itu,berdasarkan kepercayaan agama,sejarah,atau cerita rakyat (folklore).
Kita dapat mengklasifikasikan
pesan-pesan nonverbal ini dengan berbagai cara.Jurgen Ruesch mengklasifikasikan
isyarat nonverbal menjadi tiga bagian.Pertama,bahasa tanda (sign
language)-acungan jempol untuk numpang mobil secara gratis;bahasa isyarat tuna
rungu ;kedua,,bahasa tindakan (action language)-semua gerakan tubuh yang
tidak digunakan secara eksklusif untuk memberikan sinyal,misalnya,berjalan;dan ketiga,bahasa
objek (object language)-pertunjukan benda,pakaian,dan lambang nonverbal
bersifat publik lainnya seperti ukuran ruangan,bendera,gambar(lukisan),musik
(misalnya marching band),dan sebagainya,baik secara sengaja ataupun tidak.
Secara garis besar Larry A.Samovar
dan Richard E. Porter (1991)membagi pesan-pesan nonverbal menjadi dua kategori
besar yakni,:pertama,ekspresi wajah,kontak mata,bau-bauan dan
parabahasa;kedua,ruang,waktu,dan diam.
Meskipun tidak menggunakan
pengkategorian di atas,kita akan membahas berbagai jenis pesan nonverbal yang
kita anggap penting,mulai dari pesan nonverbal yang bersifat perilaku hingga
pesan noverbal yang terdapat dalam lingkungan kita.
Isyarat
Tangan
Kita sering menyertai ucapan kiita
dengan isyarat tangan.Perhatikanlah orang yang sedang menelepon.Meskipun lawan
bicaratidak terlihat,is menggerak-garakan tangannya.Isyarat tangan atau
“berbicara dengan tangan” termasuk apa yang disebut emblem,yang dipelajari,yamg
punya makna dalam suatu budaya atau subkultur.Meskipun isyarat tangan yang
digunakan sama,maknanya boleh jadi berbeda;atau,isyarat fisiknya berbeda,namun
maksudnya sama.
Untuk meunjuk diri-sendiri (“Saya!”
atau “Saya”?),seperti juga orang Kenya dan orang Korea Selatan,orang Indonesia
menunjuk dadanya dengan telapak tangannya atau telunjuknya,sedangkan orang Jepang
menunjuk hidungnya dengan telunjuk.
Penggunaan isyarat tangan dan
maknanya jelas berlainan dari budaya ke budaya.Meskipun di beberapa
Negara.telunjuk digunakan untuk menunjukkan sesuatu,hal itu tidak sopan di
Indonesia,seperti juga dibanyak negeri Timur Tengah dan Timur Jauh.Tentu saja
selalu ada kekecualian.Orang Batak,seperti orang Amerika,biasa menunjuk dengan
telunjuk tanpa bermaksud kasar kepada orang yang dihadapinya.Begitu juga orang
Betawi,yang tidak jarang menunjuk dengan memonyongkan mulut,sambil berucap,”Ke
sonono!”Beberapa suku Afrika yang menunjuk dengan mencibirkan bibir bawah
menganggap cara menunjuk Amerika sebagai kasar.
Gerakan
kepala
Di beberapa Negara,anggukan kepala
malah berarti tidak seperti di Bulgaria,sementara untuk isyarat ya” di Negara
tesebut adalah menggelengkan kepala.Orang Inggris seperti orang Indonesia
menganggukan kepala untuk menyatakan bahwa mereka mendengar,dan tidak berarti
menyetujui.Di Uni Emirat Arab,menggelengkan kepala itu juga berarti “ya”.maka
seorang TKW Indonesia bernama Kartini pun dituduh telah melakukan perzinahan
dengan seorang pekerja asal India dan dinyatakan bersalah karena ia
menggelengkan kepalanya ketika ia ditanya oleh jaksa dan hakim.Dalam sidang itu
Kartini tidak didampingi penterjemah,sementara kemampuan berbahasa Arabnya pu
ala kadarnya.Semua pertanyaan dijawabnya dengan gelengan kepala yang berarti
“tidak”,padahal di Negara itu gelengan kepala berarti “ya”.
Di banyak Negara,orang yang duduk
sambil menegakkan kepala dihadapan orang yang berbicara berarti memperhatikan
si pembicara.Di Australia,pembicara akan menyangkan Anda kecapekan atau
mengantuk bila Anda memejamkan mata Anda.Akan tetapi,orang Jepang yang tampak
tertidur –mata terpejam dan kepala menunduk-ketila pebisnis asing sedang melakukan
presentasi,sebenarnya sedang menyimak presentasi tersebut dengan
sungguh-sungguh.
Postur
Tubuh dan Posisi kaki
Postur tubuh sering bersifat
simbolik.Beberapa postur tubuh tertentu diasosiasikan dengan status sosial dan
agama tertentu.Selama berabad-abad rakyat tidak boleh berdiri atau duduk lebih
tinggi daripada (kaki) raja atau kaisarnya.Mereka harus berlutut atau bahkan
bersujud untuk menyembahnya.Penaganut Shinto di Jepang berlutut di depan altar
di luar rumah sebelum mereka membuat sajian dan berdoa.Paus Yohanes Paulus II
yang memimpin umat katolik sedunia lazim bersujud mencium bumi begitu ia turun
dari pesawat dalam lawatan internasionalnya.Orang Islam secara rutin
menampilkan perilaku serupa,sebagai bagian dari salat mereka,namun sering di
dalam ruangan daripada di luar ruangan.
Cara berdiri atau duduk juga sering
dimaknai secara berbeda di tiap Negara.tamu harus menundukkan kepala ketika
bertemu dengan Dalai Lama di Tibet,jangan menatap matanya,jangan
menyentuhnya,dan baru bicara setelah Dalai Lama bicara.
Status seseorang juga dapat terlihat
lewat cara meletakkan tangannya ketika berdiri dan berbicara dengan orang
lain.Di Negara kita,orang yang berbicara dengan merapatkan kedua tangannya
(telapak tangan menghadap ke dalam) dan meletakkannya di depan selangkangannya
hampir bisa dipastikan adalah orang yang jabatannya lebih rendah daripada orang
yang berdiri dengan meletakkankedua tangannya di samping atau di belakang
punggungnya.Perhatikanlah situasi semacam ini ketika para pejabat Negara
berkumpul di istana,sehabis pelantikan pejabat tinggi misalnya.
Ekspresi
Wajah dan Tatapan Mata
Para
dramawan, pelatih tari Bali, dan pembuat topeng di negara kita paham benar
mengenai perubahan suasana hati dan makna yang terkandung dalam ekspresi wajah,
seperti juga pengarah, pemain, dan penari Kabuki di Jepang. Masuk akal
bila banyak orang menganggap perilaku nonverbal yang paling banyak “berbicara”
adalah ekspresi wajah, khususnya pandangan mata, meskipun mulut tidak
berkata-kata.
Anda
bisa membuktikan sendiri bahwa ekspresi wajah, khususnya mata, paling
ekspresif. Cobalah anda saling memandang dengan orang lain, baik dengan pria
atau dengan wanita. Anda pasti takkan kuat memandangnya terus-menerus. Anda
kemungkinan akan tersenyum atau tertawa, atau melengos. Perilaku mata
sedemikian penting dalam budaya Korea sehingga orang Korea mempunyai kata
khusus (nuichee) untuk menekankan pentingnya perilaku itu. Orang Korea
percaya bahwa mata adalah jawaban “sebenarnya” mengenai apa yang dirasakan dan
dipikirkan seseorang.
Kontak
mata punya dua fungsi dalam komunikasi antarpribadi. Pertama, fungsi
pengatur, untuk memberi tahu orang lain apakah anda akan melakukan hubungan
dengan orang itu atau menghindarinya. Kedua, fungsi ekspresif, memberi
tahu orang lain bagaimana perasaan anda terhadapnya. Pria menggunakan lebih
banyak kontak mata dengan orang mereka sukai, meskipun menurut penelitian,
perilaku ini kurang ajeg dikalangan wanita.
Ekspresi
wajah merupakan perilaku nonverbal utama yang mengekpresikan keadaan emosional
seseorang. Sebagian pakar mengakui, terdapat beberapa keadaan emosional yang
dikomunikasikan oleh ekspresi wajah yang tampaknya dipahami secara universal : kebahagiaan,
kesedihan, ketakutan, keterkejutan, kemarahan, kejijikan, dan minat.
Ekspresi-ekspresi wajah tersebut dianggap “murni”, sedangkan keadaan emosional
lainnya (misalnya : malu, rasa berdosa, bingung, puas) dianggap “campuran”,
yang umumnya lebih bergantung pada interpretasi. Sedikit kekecualian atau
variasi memang harus diantisipasi. Misalnya –seperti lazimnya- orang Amerika
menunjukkan keterkejutan dengan mulut ternganga dan alis yang naik, sedangkan
orang-orang Eskimo, Tlingit, dan Brazil menunjukkan hal yang sama dengan
menepuk pinggul mereka.
Secara
umum dapat dikatakan bahwa makna ekspresi wajah dan pandangan mata tidaklah
universal, melainkan sangat dipengaruhi oleh budaya. Lelaki dan perempuan
mempunyai cara berbeda dalam hal ini. Perempuan cenderung lebih banyak senyum
daripada lelaki, tetapi senyuman mereka sulit ditafsirkan. Dalam suatu budaya
pun terdapat kelompok-kelompok yang menggunakan ekspresi wajah secara berbeda
dengan budaya dominan. Pearson, West, dan Turner melaporkan bahwa dibandingkan
dengan pria, wanita menggunakan lebih banyak ekspresi wajah dan lebih
ekspresif, lebih cenderung membalas senyum dan lebih tertarik kepada orang lain
yang tersenyum. Ekspresi wajah boleh sama, namun maknanya mungkin berbeda.
Sentuhan
Sentuhan,
adalah perilaku nonverbal yang multimakna, dapat menggantikan seribu kata.
Kenyataannya sentuhan ini bisa merupakan tamparan, pukulan, cubitan, senggolan,
tepukan, belaian, pelukan, pegangan (jabatan tangan), rabaan hingga sentuhan
lembut sekilas. Sentuhan kategori terakhirlah yang sering diasosiasikan dengan
sentuhan. Konon, menurut orang muda, seseorang dapat merasa seperti terkena
strum ketika disentuh oleh lawan jenisnya yang disenanginya. “And when I
touch you I feel happy inside” kata John Lennon dan Paul McCartney. Itu
sebabnya Islam punya aturan ketat mengenai sentuh-menyentuh di antara lelaki
dan perempuan untuk menghindari konsekuensinya yang menjurus pada perbuatan
negatif.
Menurut
Heslin, terdapat lima kategori sentuhan, yang merupakan suatu rentang dari yang
sangat impersonal hingga yang sangat personal. Kategori-kategori tersebut
adalah sebagai berikut.
- Fungsional-profesional. Di sini sentuhan bersifat “dingin” dan berorientasi-bisnis, misalnya pelayan took membantu pelanggan memilih pakaian.
- Sosial-sopan. Perilaku dalam situasi ini membangun dan memperteguh pengharapan, aturan dan praktik sosial yang berlaku, misalnya berjabatan tangan.
- Persahabatan-kehangatan. Kategori ini meliputi setiap sentuhan yang menandakan afeksi atau hubungan yang akrab, misalnya dua orang yang saling merangkul setelah mereka lama berpisah.
- Cinta-keintiman. Kategori ini merujuk pada sentuhan yang menyatakan keterikatan emosional atau ketertarikan, misalnya mencium pipi orangtua dengan lembut; orang yang sepenuhnya memeluk orang lain; dua orang yang “bermain kaki” di bawah meja; orang Eskimo yang saling menggosokkan hidung.
- Rangsangan seksual. Kategori ini berkaitan erat dengan kategori sebelumnya, hanya saja motifnya bersifat seksual. Rangsangan seksual tidak otomatis bermakna cinta atau keintiman.
Parabahasa
Parabahasa,
atau vokalika (vocalics), merujuk pada aspek-aspek suara selain ucapan yang
dapat dipahami, misalnya kecepatan berbicara, nada (tinggi atau rendah),
intensitas (volume) suara, intonasi, kualitas vokal (kejelasan), warna suara,
dialek, suara serak, suara sengau, suara terputus-putus, suara yang gemetar,
suitan, siulan, tawa, erangan, tangis, gerutuan, gumaman, desahan, dan
sebagainya. Setiap karakteristik suara ini mengkomunikasikan emosi dan pikiran
kita. Suara yang terengah-engah menandakan kelemahan, sedangkan ucapan yang
terlalu cepat menandakan ketegangan, kemarahan, atau ketakutan. Riset
menunjukkan bahwa pendengar mempersepsi kepribadian komunikator lewat suara.
Tidak berarti bahwa persepsi mereka akurat; alih-alih mereka memperoleh
persepsi tersebut berdasarkan stereotip yang telah mereka kembangkan. Wanita
dengan suara basah (misalnya sebagai penyiar radio) dipersepsi lebih feminim
dan lebih cantik daripada wanita tanpa suara basah. Sedangkan pria dengan nada
suara tinggi atau melengking dianggap kewanita-wanitaan. Padahal boleh jadi
wanita bersuara basah berlebihan berat badan dan pria bersuara melengking
adalah petinju kelas berat. Salah satu kelebihan lagu-lagu kelompok Peterpan
yang populer pada dekade pertama abad ke-21 di Indonesia adalah karena suara
penyanyinya, Ariel, dianggap seksi, terutama oleh kaum wanita penggemarnya.
Penampilan
fisik
Perhatian
pada penampilan fisik tampaknya universal. Sekitar 40.000 tahun yang lalu
orang-orang purba menggunakan tulang untuk dijadikan kalung dan hiasan tubuh
lainnya. Bukti-bukti arkeologis menunjukkan bahwa sejak saat itu orang-orang
sangat peduli dengan tubuh mereka. Mereka mengecatnya, mengikatkan sesuatu
padanya, dan merajahnya untuk terlihat cantik.
Setiap
orang punya persepsi mengenai penampilan fisik seseorang, baik itu busananya
(model, kualitas bahan, warna), dan juga ornament lain yang dipakainya, seperti
kaca mata, sepatu, tas, jam tangan, kalung, gelang, cincin, anting-anting, dan
sebagainya. Seringkali orang memberi makna tertentu pada karakteristik fisik
orang yang bersangkutan, seperti bentuk tubuh, warna kulit, model rambut, dan
sebagainya. Di Amerika orang menghargai wanita yang tinggi dan ramping. Di
Jepang wanita yang kecil justru paling menarik. Tetapi di Cina secara
tradisional kecantikan wanita justru diasosiasikan dengan gaya rambut sederhana
(dengan satu atau dua kepang) yang tidak berusaha menarik perhatian dengan
selendang berwarna-warni, perhiasan atau make-up.
Busana
Nilai-nilai
agama, kebiasaan, tuntutan lingkungan (tertulis atau tidak), nilai kenyamanan,
dan tujuan pencitraan, semua itu mempengaruhi cara kita berdandan.
Bangsa-bangsa yang mengalami empat musim yang berbeda menandai perubahan musim
itu dengan perubahan cara mereka berpakaian. Pada musim dingin dengan udara di
bawah 0 derajat Celcius misalnya, tidak ada orang yang hanya mengenakan T-shirt
dan celana pendek di luar rumah.
Banyak
subkultur dan komunitas mengenakan busana yang khas sebagai simbol keanggotaan
mereka dalam kelompok tersebut. Orang mengenakan jubah atau jilbab sebagai
tanda keagamaan dan keyakinan mereka. Dibanyak negara seperti Jepang dan
Meksiko, juga di Indonesia, pakaian seragam amat populer. Polisi, tentara dan
anak sekolah senang berpakaian seragam untuk menunjukkan afiliasi kelompok.
Tanpa
memperhatikan dengan sungguh-sungguh bagaimana budaya mempengaruhi komunikasi,
termasuk komunikasi nonverbal dan pemaknaan terhadap pesan nonverbal tersebut,
kita bias gagal berkomunikasi dengan orang lain. Kita cenderung menganggap
budaya kita, dan bahasa nonverbal kita sebagai standar dalam menilai bahasa
nonverbal orang dari budaya lain. Bila kita langsung berkesimpulan tentang
orang lain berdasarkan perilaku nonverbalnya yang berbeda itu, maka kita
terjebak dalam etnosentrisme (menganggap budaya sendiri sebagai standar dalam
mengukur budaya orang lain).
Referensi :
- Muchlis, M.Si
- Prodi Ilmu
Komunikasi, Fakultas Dakwah, IAIN Surabaya
Just
Thanks For :
Semoga
bermanfaat. . .
Silahkan
kunjungi blog Gallery Foto saya, dengan link dibawah ini :
Best Regard,
Shandry Fadlyka